Purnama di Langit Khatulistiwa

Malam 15 Ramadhan, purnama benderang di langit khatulistiwa setelah matahari tenggelam di bawah cakrawala. Setelah dua tahun mengumumkan  Ramadhan yang tidak mempertemukan angka 15 dan purnama, tahun ini masyarakat tidak mengalami polemik penanggalan yang sering sekali berlainan.

Meskipun masih bulan kemarau, sesekali hujan masih menyapa muka bumi di delta Kapuas yang sangat cepat mengering. Parit-parit kecil yang sudah hampir kehabisan airnya kembali terisi, walaupun hanya untuk surut kembali hanya dalam beberapa hari. Hujan yang lumayan lebat juga berhasil mendinginkan udara, apalagi di subuh hari setelah waktu sahur yang.

Seperti biasa, sinar matahari siang di khatulistiwa tetap menyengat. Saya pernah merasakan sinar matahari yang lebih menyengat dari matahari di 0 derajat. Di ketinggian dimana atmosfer tidak setebal di dekat permukaan laut, sengatan itu saya rasakan di Surya Kencana. Sebuah sabana yang berada dalam lembah yang ditumbuhi Edelweiss, sang bunga abadi.

Tapi tentu saja panas Pontianak berbeda dengan Surya Kencana, panasnya tidak berkurang dengan mudah. Panas sinar matahari tidak hanya menyenangat secara langsung, infra merahnya terperangkap oleh karbondioksida yang belakangan semakin pekat oleh knalpot berbagai kendaraan berbahan bakar fosil. Untungnya, sudah lebih banyak pohon di kota yang panas ini.

Namun, ada satu masalah yang seperti tidak pernah lepas dari Kota Pontianak. Seperti Jakarta yang tidak pernah lepas dari banjir tahunan, pontianak seakan tidak pernah lepas dari masalah asap tahunan. Demikianlah yang terjadi kemarin,  asap meliputi udara kota yang sebenarnya baru saja menjadi segar. Malam tampak berkabut, kabut yang mengancam hidung dan saluran pernapasan selanjutnya. Apakah asap telah menjadi identitas bagi Pontianak? Semoga tidak.

Post a Comment for "Purnama di Langit Khatulistiwa"