Menyusuri Sungai Sambas dengan Perahu

Pagi hari langit mendung, cukup mengintimidasi untuk mengurungkan niat untuk jalan-jalan pagi ini.  Baru beberapa saat berkata dalam hati, hujan gerimis kemudian turun. Kami hanya pasrah menahan sedih melihat wajah bayi yang sedari kemarin sore tidak banyak jalan-jalan. Hari jumat kemarin juga hanya diajak fingger scanning di kampus, tidak sempat-berlama karena hari sudah menjelang petang.

Kembali ke hari ahad ini, rupanya Allah masih mengizinkan kami untuk membawa HsN jalan-jalan. Mengingat kemarin Dinda mengirim "kode" ingin ke Istana Kesultanan Sambas ("besok ramai kali da y?"), saya bulatkan tekad untuk ke istana hari ini. Hanya lima menit perjalanan darat, kami sampai di depan istana.

Diluar pagar, beberapa lapak beratap terpal tampak lengang, tidak ada siapupun di warung-warung di depan pagar halaman istana. Hanya meja dan kursi yang disusun seadanya, jauh dari kata estetika. Selayaknya bangunan cagar budaya ini dirias seindah mungkin, sebagai bukti bahwa ada budaya  Sambas yang masih mengikat kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.



Bertiga kami mondar-mandir di halaman istana yang lumayan luas dengan perkerasan semen. Tidak banyak yang berubah sejak kepindahan saya dan keluarga ke Sambas tiga tahun silam. Kecuali bangku taman dekat pagar dibawah pohon angsana besar di sisi kanan lapangan istana sudah tidak ada lagi. Rumput-rumput tampak meninggi, membuat segan untuk melewatinya. Tiga pohon kemuning setinggi hampir dua meter tumbuh subur dekat batas rumput dan lapangan semen. O iya, tumpukan guano di lantai atas gerbang masuk ke bangunan istana utama juga sudah tidak ada. Dulu, ada bau menyengat dari tumpukan guano yang menyambut kita saat akan memasuki komplek bangunanan istana.

Hari semakin panas, kami beranjak ke pinggiran Sungai Sambas, tempat dulu pernah berdiri menara pengamat. Sebelum dibongkar menara tersebut sudah tampak sangat miring. Saat ini yang tertinggal adalah pagar dan tiang-tiang bawah serta lantai. Bangunan bekas menara ini menjadi tempat merapatnya perahu-perahu "tambang" yang siap membawa wisatawan-wisatawan yang ingin mengarungi sungai Sambas sekitar kota. Hari ini, tampaknya kami adalah wisatawan pertama yang akan mengarungi Sungai Sambas. Tanpa ada rencana sama sekali, kami menyambut tawaran seorang kakek-kakek untuk membawa kami jalan-jalan menyusuri sungai sambas dengan perahunya.

Satu persatu kami naik keatas perahu, diatas perahu sudah ada seorang ibu-ibu yang membawa sebuah tas koper. Rupanya si ibu hendak ke dermaga di pasar, untuk naik perahu besar yang akan membawanya ke kuala. Menjemput anak buahnya (keponakan). Wajah HsN nampak cemas dan tegang. Arah pandangannya selalu kedepan, seperti ngeri untuk melihat air yang bergoyang disamping kiri dan kanan perahu. Setelah si ibu turun, perahu kami melanjutkan perjalanan ke arah Gertak Batu (Jembatan Batu) yang menghubungkan Desa Durian dan Desa Jagur, terus bergerak hingga Restoran Lanting Bedar.


Setelah berhenti sebentar di tengah sungai untuk mengisi bahan bakar, perahu memutar untuk bergerak melewati istana hingga sampai di Geratak Sabok. Sepanjang pengarungan, kami melihat gertak memanjang di sepanjang pinggiran sungai yang dihiasi dengan lampu-lampu hias mengingat sebentar lagi lebara. Rumah-rumah masyarakat berdiri di pinggir sungai, ada yang berarsitektur modern, ada pula yang masih menggunakan arsitektur lama. Rumah-rumah lanting berayun-ayun di goyang ombak.

Pada satu sisi, rumah lanting merupakan sebagian warisan kebudayaan masyarakat Sambas yang hidup dekat dengan sungai. Di sisi lain, rumah lanting membuat pemandangan pinggiran sungai kurang tertata. Rumah-rumah lanting ini juga dapat menjadi tempat sangkutnya sampah yang terbawa arus air sungai. Bahkan mungkin rumah-rumah terapung ini juga bisa menjadi sumber sampah yang "menghiasi" perairan Sungai Sambas.

Dari Geratak Sabok, perahu memutar kembali ke arah istana membelah permukaan air sungai yang dekat dengan bantaran sungai sisi Desa Dalam Kaum. Bantaran sungai ini sebenarnya direncanakan akan dibangun sebagai kawasan wisata waterfront kota Sambas, namun entah kenapa proses pembangunannya tidak dilanjutkan. Sementara pemerintah kota Sambas telah mengeluarkan cukup banyak uang untuk merelokasi rumah-rumah masyarakat yang sebelumnya berdiri di bantaran sungai tersebut. Saat ini, kawasan tersebut menjadi warung-warung kopi atau cafe yang sangat ramai di malam hari.

Perjalanan memutari Sungai Sambas ini memakan waktu sekitar 40 menit dengan penumpangnya kami bertiga. Setelah membayar 50ribu, kami naik kembali ke darat di depan istana. Setelah membayar parkir motor 2ribu, kami pulang ke rumah.

Post a Comment for "Menyusuri Sungai Sambas dengan Perahu"